A.
PENDAHULUAN
Dalam Memahami Islam sebagai sebuah ajaran Allah, banyak
kalangan intelektual beramai-ramai melakukan penelitian tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan Islam. Salah satunya yaitu Ari Ginanjar yang mengkaji
bagian dari ajaran Islam yakni 1 ihsan, 6 rukun iman, dan 5 rukun Islam yang
dia rumuskan dengan “ESQ way 165″. Karya ini merupakan sebuah karya yang sangat
menarik karena Ari Ginanjar mengkaji Islam dari segi ihsan, rukun iman dan
rukun Islam yang merupakan wilayah aqidah dengan penjelasan yang berisi tentang
pemaknaan ihsan, rukun iman dan rukun Islam dalam peningkatan diri manusia
menjadi lebih baik. Wilayah aqidah ini biasanya merupakan wilayah yang akan
jarang dikaji karena merupakan konsep paling sensitive dalam akidah Islam.[1] Untuk pembahasan selanjutnya tentang ESQ
way 165 akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Kecerdasan emosional sekaligus intelektual ternyata tidak cukup membuat seseorang
berhenti mencari kepuasan batin sekaligus jati dirinya. Emotional Spiritual Quotient
(ESQ) mengingatkan bahwasannya menjadi seorang pemimpin kita wajib meniru cara
dari uswatun hasanah kita, Rosulullah Nabi Besar Muhammad,SAW yang mengajarkan
kepada kita agar bisa menjadi pemimpin yang memiliki tingkatan-tingkatan
kesempurnaan, yang pertama agar menjadi pemimpin yang dicintai kita harus bisa
berhubungan kepada sesama manusia, kedua agar pemimpin bisa dipercaya
maka, seorang pemimpin harus menjaga integritas, tingkat ketiga agar seorang
pemimpin bisa diikuti maka seorang pemimpin harus banyak menolong, tingkat
kempat soerang pemimpin harus menyiapkan kaderisasi untuk menjalankan
organisasi secara terus menerus degan cara menyiapkan pendamping, dan tingkat
kelima seorang pemimpin akan bisa menjadi pemimpin abadi dengan cara leave
legecy.[2]
Kepemimpinan melihat apa yang bisa dinilai dan apa yang dipandang baik dalam
pengajaran, untuk mencapai kondisi ini maka keunggulan perlu didefinisikan
dalam terma-terma yang spesifik. Oleh karena itu pemimpin harus bertanggungjawab
dalam menciptakan kultur organisasional yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan partisipasi seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan, sehingga
dari tanggung jawab yang dibebankan serta pengalaman tersebut juga dapat
membentuk kepemimpinan terhadap diri sendiri.[3]
B.
PEMBAHASAN
Kepemimpinan
mempunyai fungsi yang fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa
kehadiran pemimpin yang mampu membawakan kepemimpinan yang baik dan benar
mustahil akan tercipta masyarakat atau bangsa yang bermartabat. Konsep ESQ
sendiri berawal dari diri seorang individu yang dipengaruhi oleh kecerdasan,
spiritual dan emosional yang menghasilkan individu yang mulia.
Rumusan Ari Ginanjar “ESQ way 165″ merupakan jabaran dari 1 ihsan, 6
rukun iman dan 5 rukun Islam. Yaitu sebagai berikut:
1.
Zero Mind
Process (proses penjernihan emosi) menerangkan bagaimana rumusan 1 ihsan. Dalam
upaya untuk melakukan penjernihan emosi (ZMP), yaitu antara lain:
a.
Hindari
selalu berprasangka buruk, upayakan berprasangka baik terhadap orang.
b.
Berprinsiplah
selalu kepada Allah yang Maha Abadi.
c. Bebaskan diri
dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka.
d.
Dengarlah
suara hati, berpeganglah prinsip karena Allah, berpikirlah melingkar sebelum
menentukan kepentingan dan prioritas.
e.
Lihatlah
semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara hati yang bersumber dari
asmaul husna.
f. Periksa pikiran anda terlebih
dahulu sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran
anda tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya.
g.
Ingatlah
bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Allah.
Hasil akhir dari zero mind process atau penjernihan emosi adalah
seseorang yang telah terbebas dari belenggu prasangka negatif, prinsip-prinsip
hidup yang menyesatkan, pengalaman yang mempengaruhi pikiran, egoisme
kepentingan dan prioritas, pembanding-pembanding yang subjektif, dan terbebas
dari pengaruh belenggu literatur-literatur yang menyesatkan.
Pemaknaan ihsan seperti ini jelas berbeda dengan seperti pemaknaan yang
telah dikenal sebelumnya. Karena makna ihsan yang dikenal sebelumnya merupakan
bentuk ibadah yang kita lakukan sepenuhnya diperhatikan oleh Allah dan Allah
akan selalu mengawasi kita di manapun kita berada. Rumusan Ari Ginanjar tentang
ihsan ini merupakan rumusan prinsip dari makna ihsan dihubungkan dengan realita
kehidupan masyarakat yang ada.
2.
6 Asas
Pembangunan Mental, antara lain:
a.
Prinsip
Bintang (Iman Kepada Allah), merupakan penjabaran dari makna iman kepada Allah
dalam rukun iman. Prinsip seorang bintang adalah memiliki rasa aman intrinsik,
kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, bersikap bijaksana, dan
memiliki motivasi yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun karena iman kepada
Allah.
b.
Prinsip
Malaikat (Iman Kepada Malaikat), orang yang berprinsip seperti malaikat akan
menghasil orang yang sebagai berikut yakni seseorang yang memiliki tingkat
loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan
memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. Dengan mempraktekkan
kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat punya di dalam kehidupan sehingga orang
tersebut akan menjadi manusia yang paripurna.
c.
Prinsip
Kepemimpinan (Iman Kepada Rasul Allah), Pemimpin sejati adalah seorang yang
selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia dicintai.
Memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu
membimbing dan mempelajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan
konsisten. Memimpin berdasarkan atas suara hati yang fitrah. Dengan meneladani
sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita memiliki prinsip kepemimpinan
yang menentramkan masyarakat.
d.
Prinsip
Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah), hasil dari proses pembelajaran antara
lain: (1) Memiliki kebiasaan membaca buku dan situasi dengan cermat, (2) Selalu
berpikir kritis dan mendalam, (3) Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, (4)
Bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, (5) Memiliki pedoman yang kuat
dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah. Hasil dari proses
pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan konteks yang
harus dilakukan oleh semua orang dalam mempraktekkan iman kepada kitab-kitab
Allah, sehingga kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam kehidupan manusia.
e.
Prinsip Visi
ke Depan (Iman Kepada Hari Akhir), berorientasi kepada tujuan akhir dalam
setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal dan
sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki
kesadaran akan adanya hari kemudian, memiliki kepastian akan masa depan dan
memiliki ketenangan batiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyakinannya akan
adanya hari pembalasan. Dengan kesadaran visi akan hari akhir tersebut, akan
mendorong manusia terus berbuat dan berjuang dengan sebaik-baiknya di muka bumi
hingga akhir hayat tanpa perlu diri merasa berhenti.
f.
Prinsip
Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar), hasil dari prinsip keteraturan akan
memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan
kepastian hukum alam dan hukum sosial, memahami akan arti penting sebuah proses
yang harus dilalui, selalu berorientasi kepada pembentukan sistem dan selalu
berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh
orang yang menjalankan prinsip keteraturan, sehingga hidupnya menjadi lebih
bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada keteraturannya dari Allah.
3. 5 Prinsip
Ketangguhan, 5 prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian yakni 3 prinsip
ketangguhan pribadi dan 2 prinsip ketangguhan sosial.
a. 3 Prinsip
Ketangguhan Pribadi, seseorang yang telah memiliki prinsip 6 asas pembentukan
mental. Kemudian untuk menjadi pribadi yang sukses, ditambah dengan 3 langkah
sukses yaitu:
1)
Prinsip
Penetapan Misi (Syahadat), merupakan penjabaran makna dari syahadat dalam rukun
Islam. Penetapan misi melalui syahadat akan menciptakan suatu dorongan kekuatan
untuk mencapai keberhasilan. Syahadat akan membangun suatu keyakinan dalam
berusaha, syahadat akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu
tujuan, syahadat akan membangkitkan suatu keberanian dan optimisme sekaligus
menciptakan ketenangan batiniah dalam menjalankan misi hidup.
2)
Prinsip
Pembangunan Karakter (Shalat), shalat sebagai tempat untuk menyeimbangkan dan
menyelaraskan pikiran, dan pelaksanaan shalat juga suatu mekanisme yang bisa
menambah energi baru yang terakumulasi sehingga menjadi suatu kumpulan dorongan
dahsyat untuk segera berkarya dan mengaplikasikan pemikirannya ke dalam alam
realita. Shalat adalah suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar
tetap memiliki cara berpikir fitrah, sebuah metode yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosi dan spiritual secara terus menerus, shalat adalah suatu teknik
pembentukan pengalaman yang membangun suatu paradigma positif, dan shalat
adalah suatu cara untuk terus mengasah dan mempertajam kecerdasan emosi dan
spiritual yang diperoleh dari rukun iman.
3)
Prinsip
Pengendalian Diri (Puasa), merupakan penjabaran makna dari rukun Islam ketiga
yakni shalat. Puasa adalah kemampuan menahan dan mengendalikan diri untuk tidak
hanya berkeinginan menjadi seorang pemimpin dengan mengatasnamakan orang lain
untuk tujuan pribadi serta keuntungan tertentu. Akan tetapi menyadari bahwa
pemimpin adalah salah satu tugas yang maha berat untuk membawa umat ke arah
kebahagiaan dengan hati nurani. Hasil pengendalian diri: puasa adalah suatu
metodepelatian untuk pengendalian diri, puasa bertujuan untuk meraih
kemerdekaan sejati dan pembebasan belenggu nafsu yang tisak terkendali, puasa
yang baik akan memelihara aset kita yang paling berharga yakni fitrah diri,
tujuan puasa lainnya untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk
mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk menjaga prinsip-prinsip yang
telah dianut berdasarkan rukun iman.
b.
2 Prinsip
Ketangguhan Sosial, merupakan penjabaran dari prinsip zakat dan haji di dalam
rukun Islam.
1)
Prinsip
Stategi Kolaborasi (Zakat), suatu upaya untuk memanggil dan mengangkat ke
permukaan suara hati untuk menjadi dermawan dan untuk memberi rezeki kepada
orang lain. Pada prinsipnya, zakat bukan hanya sebatas memberi 2,5 % dari
penghasilan bersih yang kita miliki. Akan tetapi, prinsip zakat dalam arti luas
seperti memberi penghargaan dan perhatian kepada orang lain, menepati janji
yang sudah anda berikan, bersikap toleran, mau mendengar orang lain, bersikap
empati, menunjukkan integritas, menunjukkan sikap rahman dan rahim kepada orang
lain.
2)
Prinsip
Aplikasi Total (Haji), suatu wujud kesalarasan antara idealisme dan praktek,
keselarasan antara iman dan Islam. Haji adalah suatu transformasi prinsip dan
langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi perjuangan (sa`i),
evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah dibuat dan visualisasi masa depan
melalui prinsip berpikir dan cara melangkah yang fitrah (wukuf). Haji juga
merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala tertinggi dan haji adalah
persiapan fisik secara mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan
(lontar jumrah).[4]
ESQ merupakan gabungan emotional,
spriritual dan quontient, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di
dalam konsep ESQ, semua manusia punya intelektual dan punya emosional, tapi
kedua hal tersebut tidak sempurna kalau tidak disatukan dengan kecerdasan
spriritual. Dengan ESQ way 165 membentuk
karakter yang mengetahui jati dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui orang
tuanya menurut agamanya masing-masing, Dengan ESQ juga akan terrbentuk nilai dasar
yang jujur, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil, peduli, visioner, rasa
saling menghormati, rasa saling menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan,
saling membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku
lain.
1. Kecerdasan Emosional (EQ)
E (Emosional) adalah kemampuan bertindak dengan mendengar suara hati dari berbagai
informasi yang dimiliki. Kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang
lain, kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam
hubungannya dengan orang lain merupakan hal penting untuk memahami difinisi E. [5]
Menurut Goleman yang dikutip oleh Syarif Makmur bahwa kematangan emosional
adalah mentability, yang menentukan
seberapa baik kita mampu menggunakan keterampilan-keterampilan lain mana pun
yang kita miliki, termasuk intelektual yang belum terasah. EQ tidaklah
ditentukan sejak lahir, dalam sebuah penelitian dengan cermat memperlihatkan
bagaimana EQ dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita sendiri.[6]
Secara
manifest kita dapat melihat
indikator E dalam diri seorang individu.
Indikator-indikator tersebut antara lain :
a.
Kesadaran diri yaitu mampu
mengamati diri sendiri & mengenali perasaan sejalan dg peristwa yang terjadi.
b.
Pengaturan emosi yaitu mengendalikan
perasaan agar sesuai dan
merealisasakan apa yang
terdapat dibalik perasaan tersebut, menemukan
cara untuk mengendalikan ketakutan dan
kecemasan, kemarahan serta kesedihan.
c.
Empati yaitu Sensitivitas yg
tinggi thd perasaan & perhatian org lain & mengadaptasi perspektif
mereka, mengapresiasikan berbagai perbedaan ttg cara org merasakan sesuatu.
d.
Pengaturan hubungan yaitu
mengendalikan emosi dlm diri orang lain, ketrampilan & kompetensi sosial. [7]
Suatu manajemen kadang-kadang tidak mengajarkan
apa-apa kepada sebagian orang, hanya rumusan dan implementasi ketentuan dan
peraturan lebih banyak. Yang lain melihatnya sebagai suatu proses kepemimpinan
yang melaluinya niat diterjemahkan menjadi tujuan, tanpa embel-embel. Lainnya
menanggap sebagi aktivitas manusia untuk
menjalankan fungsi dalam sebuah organisasi maupun bisnis, karenanya memanag
kecerdasan emosi sangat penting. [8]
2. Kecerdasan Spiritual (SQ)
S (Sepiritual)
adalah kemampuan memberi makna tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan.
Kemampuan spiritual berasal dari nilai-nilai yang diyakini seseorang. Nilai-nilai tersebut didapat
dari sebuah doktrin keyakinan seseorang kepada sesuatu yang dianggap benar dan
menjadi pedoman hidupnya. Kemampuan spiritual biasanya ditandai dengan
kemampuan seseorang dalam mengendalikan hawa nafsunya karena tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang ada
dalam keyakinannya.
Menurut Ary
Ginanjar Agustian dalam buku ESQ menyebutkan bahwa SQ adalah kemampuan untuk
memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju yang seutuhnya, dan
memiliki pola pemikiran tauhidi, serta berprinsip “hanya karena Allah”.[9]
Kecerdasan
spiritual sebagai pemikiran yang terilhami oleh dorongan dan efektifitas,
keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya.[10]
Lebih lanjut dikatakan bahwa SQ adalah cahaya, ciuman kehidupan yang
membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.[11]
Pada
konteks spesifik, SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dan konteks makna secara
lebih luas dan kaya.[12]
SQ merupakan prasyarat bagi fungsinya IQ dan EQ secara efektif. Perbedaan
penting SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh
Goleman yang dikutip oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, EQ memungkinkan saya
untuk memutuskan dalam situasi apa saya berada lalu bersikap secara tepat di
dalamnya. Ini berarti bekerja di dalam batasan situasi dan membiarkan situasi
tersebut mengarahkan saya. Akan tetapi SQ memungkinkan saya bertanya apakah
saya memang ingin barada pada situasi tersebut. Apakah saya lebih suka mengubah
situasi tersebut, memperbaikinya? Ini berarti bekerja dengan batasan siatuasi saya, yang memungkinkan saya untuk mengarah
situasi itu.[13]
Training atau
pelatihan ESQ bukanlah sebuah ceramah agama seperti informasi yang mungkin
pernah diberitakan. Meski banyak mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, training
ESQ sesungguhnya adalah sebuah konsep baru training manajemen dan sumber daya
manusia yang mensinergikan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional
(EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) secara ilmiah. Training ESQ akan
menciptakan manusia-manusia unggul dan paripurna yang bermanfaat, baik untuk
pribadi maupun kepentingan kinerja perusahaan secara transcendental. Beragamnya orang yang mengikuti pembinaan dan training atau latihan ESQ karena materi dan
metode yang diberikan dapat diterima oleh semua kalangan. Tak mengherankan jika
dalam sebuah training, kita akan menemui orang-orang yang memiliki latar
belakang sosial, politik, dan budaya yang berbeda.[14]
Dengan ESQ, kita sebagai manusia mengakui adanya Tuhan
dengan segala kebesaran-Nya dan bisa diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Ini merupakan konsep psikologi (religius) yang mengakui adanya
Tuhan, yang berbeda dengan konsep psikologi Barat yang hanya mengandalkan
intelektual (rasio) dan emosional.
Pada
dasarnya konsep ESQ sama dengan konsep yang diajarkan secara tradisional tetapi
yang sedikit membedakannya adalah ESQ mengenalkan konsep “revolusi budaya”
dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana nilai-nilai ketuhanan dalam Asmaul Husna
dibawa dalam perilaku sehari-hari seperti kejujuran, integritas,
tanggung-jawab, kebijaksanaan, inspirasi, semangat kerja keras, dll. Nilai-nilai
inilah yang kemudian dikenalkan oleh Ary sebagai nilai ilahiah yang ada dalam
diri manusia. Konsep ketuhanan tidak hanya menjadi nilai filosofis, tetapi
harus dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari (the way of life).
ESQ bertujuan untuk lahirkan manusia yang unggul dari
sudut emosi dan spiritual dengan cara mengembangkan potensi keperibadian.
Membentuk manusia unggul bukanlah suatu perkara yang mudah malah memerlukan
suatu proses yang sistematik dan berkesinambungan selain daripada komitmen yang
tinggi pada diri seseorang. ESQ akan
memandu seseorang dalam membangunkan prinsip hidup dan keperibadian berdasarkan
ESQ Way 165. Angka 165 merupakan simbol bagi 1 hati yang Ehsan pada God Spot, 6
Prinsip Moral berdasarkan Rukun Iman dan 5 Langkah Kejayaan yang berdasarkan
Rukun Islam.[15]
Pembinaan
dalam pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk pengembangan sumber daya
manusia yang amat strategis. Sebab dalam program pendidikan selalu berkaitan
dengan masalah nilai, norma dan perilaku individu dan kelompok. Pendidikan dan
pelatihan selalu direncanakan untuk tujuan: pengembangan pribadi, pengembangan
profesional, pemecahan masalah, tindakan yang remidial, motivasi, meningkatkan
mobilitas, dan keamanan anggota organisasi.
Tujuan
diklat tersebut untuk memperoleh kecakapan khusus yang nantinya diperlukan saat
menjadi pemimpin dalam rangka menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Oleh sebab
itu diklat ini menjadi satu alat peningkatan kepemimpinan yang secara esensial
harus: (1) responsif, untuk memnuhi
persyaratan dan kebutuhan individu, organisasi dan masyarakat luas, (2) efektif, menghasilkan produk yang
diperlukan, diinginkan, diselenggarakan dan memberikan kepuasan kepada peserta
dan organisasi, dan (3) efisien,
mampu berdaya guna secara ekonomis dan memperoleh manfaat yang seoptimal
mungkin.[16]
Usaha
mempersiapkan dalam membentuk calon pemimpin dan mengembangkan kermampuan para
pemimpin itu tidak selalu melalui latihan khusus yang formal saja, melainkan
juga dapat dilaksanakan sambil bekerja di tengah lingkungan kerja melalui: (1)
pemberian koreksi dan petunjuk, (2) memberikan tugas-tugas dan latihan
tambahan, (3) melalui diskusi, seminar, dan rapat kerja, dan (4) in-service
training.[17]
C. PENUTUP
Manusia diciptakan di muka bumi sebagi khalifatullah,
sebagai seorang pemimpin baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Meskipun
setiap orang berhak untuk mengatur dirinya sendiri, akan tetapi tanpa campur
tangan seorang pemimpin merupakan sumber munculnya berbagai problem-problem
umat, bahkan kemanusiaan secara umum. Jika kepemimpinan tersebut hanya didasari
dengan kecerdasan intelektual (IQ), maka tujuannya tidak sepenuhnya berhasil.
Bahkan gaya kepemimpinan yang melanggar garis Allah (sunnatullah) hanyalah akan
menumbuh suburkan anarkisme dan keganasan hewaniah, karena manusia cenderung
mempunyai nafsu hayawaniah. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh
Thomas Hobbes "Homo Homini Lupus", manusia akan menjadi pemangsa
manusia lainnya, jika yang memimpin adalah otak bukan hati. Sehingga dalam
kepemimpinan diperlukan adanya kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ).
Dalam
menyiapkan diri sebagai seorang pemimpin, harus bersedia menempa dan melatih
diri untuk menjadi pemimpin yang handal yang akan digunakan dalam menjalankan
kepemimpinan yang dibawanya. Salah satu cara adalah dengan pengembangan
ESQ (Emosional Spritual Quetient). Dengan ESQ membentuk karakter yang
mengetahui jati dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui orang tuanya menurut
agamanya masing-masing, Dengan ESQ juga akan terrbentuk nilai dasar yang jujur,
disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil, peduli, visioner, rasa saling
menghormati, rasa saling menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan, saling
membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku lain.
Pelajaran
yang dapat kita ambil diantaranya sebagai berikut:
1. Jangan pernah
meremehkan manusia, strategi lebih baik daripada tragedi
2. Pahamilah
sensitivitas kultural, waspadalah terhadap komentar Anda
3. Kualitas tertinggi
layanan pelanggan tidaklah sempurna tanpa kecerdasan Emosional
4. Jika memecahkan suatu
masalah, terlebih dahulu keluarkan emosi
5. Sadarilah bahwa
pemimpin tidak selalu benar
DAFTAR PUSTAKA
Bush, Tony &
Marianne Coleman. Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan. Jogjakarta:
IRCiSoD. 2012.
Danah Zohar dan Ian
Marshall. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan.
Bandung: Mizan. 2001.
file:///D:/net/esq/wibowo%20%C2%BB%20Berharap%20ESQ%20Training%20,%20 Membentuk%20Pemimpin%20dengan%20Kesadaran%20Spiritual.htm
Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga. 2007.
Kartono, Kartini. Pemimpin dan
Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Makmur, Syarif. Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia dan Efektivitas Organisasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2008.
Meyer, Henry. Manajemen dengan Kecerdasan Emosional. Bandung: Nuansa.
2008.
Sinetar, Marsha. Spiritual
Intelligence Kecerdasan Spiritual. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2001.
Wahab, Abd. & Umiarso. Kepemimpinan
Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual. Jogjakarta: Ruzz Media. 2011.
Wahjosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2002.
[1] file:///D:/net/esq/index.php.htm
Membentuk%20Pemimpin%20dengan%20Kesadaran%20Spiritual.htm
[3]
Tony Bush & Marianne Coleman, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan.
Cet.1. Jogjakarta, IRCiSoD, 2012, hlm. 70-80.
[6] DR. Syarif Makmur, M. Si., Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan
Efektivitas Organisasi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 195.
[7] Op.cit.
[8] Dr. Henry R. Meyer, Manajemen dengan
Kecerdasan Emosional, Bandung, Nuansa, 2008, hlm. 142.
[9] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Cet. 33, Jakarta, Arga, 2007, hlm. 57.
[10] Marsha Sinetar, Spiritual Intelligence Kecerdasan Spiritual, Jakarta, PT Elex Media
Komputindo, 2001, hlm. 12-13.
[12] Drs. H. Abd Wahab H.S. & Umiarso, M.
Pd.I, Kepemimpinan Pendidikan dan
Kecerdasan Spiritual, Jogjakarta, Ruzz Media, 2011, hlm. 51.
[13] Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan
Holistik untuk memaknai Kehidupan, terj. Rahmani Astuti, et.al., Bandung,
Mizan, 2001, hlm. 5.
[15] file:///D:/net/esq/19.htm
[16] Wahjosumidjo, Kepemimpinan
Kepala Sekolah, Cet 3, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.
381-382.
[17] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm. 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar