Kamis, 06 Desember 2012

EMOTIONAL SPIRITUAL QUESTION (ESQ) DALAM MEMBENTUK KEPEMIMPINAN


A.    PENDAHULUAN
Dalam Memahami Islam sebagai sebuah ajaran Allah, banyak kalangan intelektual beramai-ramai melakukan penelitian tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Islam. Salah satunya yaitu Ari Ginanjar yang mengkaji bagian dari ajaran Islam yakni 1 ihsan, 6 rukun iman, dan 5 rukun Islam yang dia rumuskan dengan “ESQ way 165″. Karya ini merupakan sebuah karya yang sangat menarik karena Ari Ginanjar mengkaji Islam dari segi ihsan, rukun iman dan rukun Islam yang merupakan wilayah aqidah dengan penjelasan yang berisi tentang pemaknaan ihsan, rukun iman dan rukun Islam dalam peningkatan diri manusia menjadi lebih baik. Wilayah aqidah ini biasanya merupakan wilayah yang akan jarang dikaji karena merupakan konsep paling sensitive dalam akidah Islam.[1] Untuk pembahasan selanjutnya tentang ESQ way 165 akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Kecerdasan emosional sekaligus intelektual ternyata tidak cukup membuat seseorang berhenti mencari kepuasan batin sekaligus jati dirinya. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) mengingatkan bahwasannya menjadi seorang pemimpin kita wajib meniru cara dari uswatun hasanah kita, Rosulullah Nabi Besar Muhammad,SAW yang mengajarkan kepada kita agar bisa menjadi pemimpin yang memiliki tingkatan-tingkatan kesempurnaan, yang pertama agar menjadi pemimpin yang dicintai kita harus bisa berhubungan kepada sesama  manusia, kedua agar pemimpin bisa dipercaya maka, seorang pemimpin harus menjaga integritas, tingkat ketiga agar seorang pemimpin bisa diikuti maka seorang pemimpin harus banyak menolong, tingkat kempat soerang pemimpin harus menyiapkan kaderisasi untuk menjalankan organisasi secara terus menerus degan cara menyiapkan pendamping, dan tingkat kelima seorang pemimpin akan bisa menjadi pemimpin abadi dengan cara leave legecy.[2]
Kepemimpinan melihat apa yang bisa dinilai dan apa yang dipandang baik dalam pengajaran, untuk mencapai kondisi ini maka keunggulan perlu didefinisikan dalam terma-terma yang spesifik. Oleh karena itu pemimpin harus bertanggungjawab dalam menciptakan kultur organisasional yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan partisipasi seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan, sehingga dari tanggung jawab yang dibebankan serta pengalaman tersebut juga dapat membentuk kepemimpinan terhadap diri sendiri.[3]

B.     PEMBAHASAN
Kepemimpinan mempunyai fungsi yang fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kehadiran pemimpin yang mampu membawakan kepemimpinan yang baik dan benar mustahil akan tercipta masyarakat atau bangsa yang bermartabat. Konsep ESQ sendiri berawal dari diri seorang individu yang dipengaruhi oleh kecerdasan, spiritual dan emosional yang menghasilkan individu yang mulia.
Rumusan Ari Ginanjar “ESQ way 165″ merupakan jabaran dari 1 ihsan, 6 rukun iman dan 5 rukun Islam. Yaitu sebagai berikut:
1.         Zero Mind Process (proses penjernihan emosi) menerangkan bagaimana rumusan 1 ihsan. Dalam upaya untuk melakukan penjernihan emosi (ZMP), yaitu antara lain:
a.       Hindari selalu berprasangka buruk, upayakan berprasangka baik terhadap orang.
b.      Berprinsiplah selalu kepada Allah yang Maha Abadi.
c.  Bebaskan diri dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka.
d.      Dengarlah suara hati, berpeganglah prinsip karena Allah, berpikirlah melingkar sebelum menentukan kepentingan dan prioritas.
e.       Lihatlah semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara hati yang bersumber dari asmaul husna.
f.  Periksa pikiran anda terlebih dahulu sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran anda tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya.
g.      Ingatlah bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Allah.
Hasil akhir dari zero mind process atau penjernihan emosi adalah seseorang yang telah terbebas dari belenggu prasangka negatif, prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan, pengalaman yang mempengaruhi pikiran, egoisme kepentingan dan prioritas, pembanding-pembanding yang subjektif, dan terbebas dari pengaruh belenggu literatur-literatur yang menyesatkan.
Pemaknaan ihsan seperti ini jelas berbeda dengan seperti pemaknaan yang telah dikenal sebelumnya. Karena makna ihsan yang dikenal sebelumnya merupakan bentuk ibadah yang kita lakukan sepenuhnya diperhatikan oleh Allah dan Allah akan selalu mengawasi kita di manapun kita berada. Rumusan Ari Ginanjar tentang ihsan ini merupakan rumusan prinsip dari makna ihsan dihubungkan dengan realita kehidupan masyarakat yang ada.
2.         6 Asas Pembangunan Mental, antara lain:
a.       Prinsip Bintang (Iman Kepada Allah), merupakan penjabaran dari makna iman kepada Allah dalam rukun iman. Prinsip seorang bintang adalah memiliki rasa aman intrinsik, kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, bersikap bijaksana, dan memiliki motivasi yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun karena iman kepada Allah.
b.      Prinsip Malaikat (Iman Kepada Malaikat), orang yang berprinsip seperti malaikat akan menghasil orang yang sebagai berikut yakni seseorang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. Dengan mempraktekkan kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat punya di dalam kehidupan sehingga orang tersebut akan menjadi manusia yang paripurna.
c.       Prinsip Kepemimpinan (Iman Kepada Rasul Allah), Pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mempelajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Memimpin berdasarkan atas suara hati yang fitrah. Dengan meneladani sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita memiliki prinsip kepemimpinan yang menentramkan masyarakat.
d.      Prinsip Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah), hasil dari proses pembelajaran antara lain: (1) Memiliki kebiasaan membaca buku dan situasi dengan cermat, (2) Selalu berpikir kritis dan mendalam, (3) Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, (4) Bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, (5) Memiliki pedoman yang kuat dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah. Hasil dari proses pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan konteks yang harus dilakukan oleh semua orang dalam mempraktekkan iman kepada kitab-kitab Allah, sehingga kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam kehidupan manusia.
e.       Prinsip Visi ke Depan (Iman Kepada Hari Akhir), berorientasi kepada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya hari kemudian, memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyakinannya akan adanya hari pembalasan. Dengan kesadaran visi akan hari akhir tersebut, akan mendorong manusia terus berbuat dan berjuang dengan sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat tanpa perlu diri merasa berhenti.
f.       Prinsip Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar), hasil dari prinsip keteraturan akan memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial, memahami akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu berorientasi kepada pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh orang yang menjalankan prinsip keteraturan, sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada keteraturannya dari Allah.
3.   5 Prinsip Ketangguhan, 5 prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian yakni 3 prinsip ketangguhan pribadi dan 2 prinsip ketangguhan sosial.
a.     3 Prinsip Ketangguhan Pribadi, seseorang yang telah memiliki prinsip 6 asas pembentukan mental. Kemudian untuk menjadi pribadi yang sukses, ditambah dengan 3 langkah sukses yaitu:
1)   Prinsip Penetapan Misi (Syahadat), merupakan penjabaran makna dari syahadat dalam rukun Islam. Penetapan misi melalui syahadat akan menciptakan suatu dorongan kekuatan untuk mencapai keberhasilan. Syahadat akan membangun suatu keyakinan dalam berusaha, syahadat akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu tujuan, syahadat akan membangkitkan suatu keberanian dan optimisme sekaligus menciptakan ketenangan batiniah dalam menjalankan misi hidup.
2)   Prinsip Pembangunan Karakter (Shalat), shalat sebagai tempat untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pikiran, dan pelaksanaan shalat juga suatu mekanisme yang bisa menambah energi baru yang terakumulasi sehingga menjadi suatu kumpulan dorongan dahsyat untuk segera berkarya dan mengaplikasikan pemikirannya ke dalam alam realita. Shalat adalah suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir fitrah, sebuah metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara terus menerus, shalat adalah suatu teknik pembentukan pengalaman yang membangun suatu paradigma positif, dan shalat adalah suatu cara untuk terus mengasah dan mempertajam kecerdasan emosi dan spiritual yang diperoleh dari rukun iman.
3)   Prinsip Pengendalian Diri (Puasa), merupakan penjabaran makna dari rukun Islam ketiga yakni shalat. Puasa adalah kemampuan menahan dan mengendalikan diri untuk tidak hanya berkeinginan menjadi seorang pemimpin dengan mengatasnamakan orang lain untuk tujuan pribadi serta keuntungan tertentu. Akan tetapi menyadari bahwa pemimpin adalah salah satu tugas yang maha berat untuk membawa umat ke arah kebahagiaan dengan hati nurani. Hasil pengendalian diri: puasa adalah suatu metodepelatian untuk pengendalian diri, puasa bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan belenggu nafsu yang tisak terkendali, puasa yang baik akan memelihara aset kita yang paling berharga yakni fitrah diri, tujuan puasa lainnya untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk menjaga prinsip-prinsip yang telah dianut berdasarkan rukun iman.
b.      2 Prinsip Ketangguhan Sosial, merupakan penjabaran dari prinsip zakat dan haji di dalam rukun Islam.
1)   Prinsip Stategi Kolaborasi (Zakat), suatu upaya untuk memanggil dan mengangkat ke permukaan suara hati untuk menjadi dermawan dan untuk memberi rezeki kepada orang lain. Pada prinsipnya, zakat bukan hanya sebatas memberi 2,5 % dari penghasilan bersih yang kita miliki. Akan tetapi, prinsip zakat dalam arti luas seperti memberi penghargaan dan perhatian kepada orang lain, menepati janji yang sudah anda berikan, bersikap toleran, mau mendengar orang lain, bersikap empati, menunjukkan integritas, menunjukkan sikap rahman dan rahim kepada orang lain.
2)   Prinsip Aplikasi Total (Haji), suatu wujud kesalarasan antara idealisme dan praktek, keselarasan antara iman dan Islam. Haji adalah suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi perjuangan (sa`i), evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah dibuat dan visualisasi masa depan melalui prinsip berpikir dan cara melangkah yang fitrah (wukuf). Haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala tertinggi dan haji adalah persiapan fisik secara mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar jumrah).[4]
ESQ merupakan gabungan emotional, spriritual dan quontient, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di dalam konsep ESQ, semua manusia punya intelektual dan punya emosional, tapi kedua hal tersebut tidak sempurna kalau tidak disatukan dengan kecerdasan spriritual. Dengan ESQ way 165 membentuk karakter yang mengetahui jati dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui orang tuanya menurut agamanya masing-masing, Dengan ESQ juga akan terrbentuk nilai dasar yang jujur, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil, peduli, visioner, rasa saling menghormati, rasa saling menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan, saling membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku lain.
1.      Kecerdasan Emosional (EQ)
E (Emosional) adalah kemampuan bertindak dengan mendengar suara hati dari berbagai informasi yang dimiliki. Kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain merupakan hal penting untuk memahami difinisi E. [5]
Menurut Goleman yang dikutip oleh Syarif Makmur bahwa kematangan emosional adalah mentability, yang menentukan seberapa baik kita mampu menggunakan keterampilan-keterampilan lain mana pun yang kita miliki, termasuk intelektual yang belum terasah. EQ tidaklah ditentukan sejak lahir, dalam sebuah penelitian dengan cermat memperlihatkan bagaimana EQ dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita sendiri.[6]
Secara manifest kita dapat melihat indikator  E dalam diri seorang individu. Indikator-indikator tersebut antara lain :
a.       Kesadaran diri yaitu mampu mengamati diri sendiri & mengenali perasaan sejalan dg peristwa yang terjadi.
b.      Pengaturan emosi yaitu mengendalikan perasaan agar sesuai dan merealisasakan apa yang terdapat dibalik perasaan tersebut, menemukan cara untuk mengendalikan ketakutan dan kecemasan, kemarahan serta kesedihan.
c.       Empati yaitu Sensitivitas yg tinggi thd perasaan & perhatian org lain & mengadaptasi perspektif mereka, mengapresiasikan berbagai perbedaan ttg cara org merasakan sesuatu.
d.      Pengaturan hubungan yaitu mengendalikan emosi dlm diri orang lain, ketrampilan & kompetensi sosial. [7]
Suatu manajemen kadang-kadang tidak mengajarkan apa-apa kepada sebagian orang, hanya rumusan dan implementasi ketentuan dan peraturan lebih banyak. Yang lain melihatnya sebagai suatu proses kepemimpinan yang melaluinya niat diterjemahkan menjadi tujuan, tanpa embel-embel. Lainnya menanggap  sebagi aktivitas manusia untuk menjalankan fungsi dalam sebuah organisasi maupun bisnis, karenanya memanag kecerdasan emosi sangat penting. [8]
2.      Kecerdasan Spiritual (SQ)
S (Sepiritual) adalah kemampuan memberi makna tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Kemampuan spiritual berasal dari nilai-nilai yang diyakini seseorang. Nilai-nilai tersebut didapat dari sebuah doktrin keyakinan seseorang kepada sesuatu yang dianggap benar dan menjadi pedoman hidupnya. Kemampuan spiritual biasanya ditandai dengan kemampuan seseorang dalam mengendalikan hawa nafsunya karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam keyakinannya.
Menurut Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ menyebutkan bahwa SQ adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhidi, serta berprinsip “hanya karena Allah”.[9]
Kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami oleh dorongan dan efektifitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya.[10] Lebih lanjut dikatakan bahwa SQ adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.[11]
Pada konteks spesifik, SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dan konteks makna secara lebih luas dan kaya.[12] SQ merupakan prasyarat bagi fungsinya IQ dan EQ secara efektif. Perbedaan penting SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Goleman yang dikutip oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, EQ memungkinkan saya untuk memutuskan dalam situasi apa saya berada lalu bersikap secara tepat di dalamnya. Ini berarti bekerja di dalam batasan situasi dan membiarkan situasi tersebut mengarahkan saya. Akan tetapi SQ memungkinkan saya bertanya apakah saya memang ingin barada pada situasi tersebut. Apakah saya lebih suka mengubah situasi tersebut, memperbaikinya? Ini berarti bekerja dengan batasan siatuasi saya, yang memungkinkan saya untuk mengarah situasi itu.[13]
Training atau pelatihan ESQ bukanlah sebuah ceramah agama seperti informasi yang mungkin pernah diberitakan. Meski banyak mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, training ESQ sesungguhnya adalah sebuah konsep baru training manajemen dan sumber daya manusia yang mensinergikan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) secara ilmiah. Training ESQ akan menciptakan manusia-manusia unggul dan paripurna yang bermanfaat, baik untuk pribadi maupun kepentingan kinerja perusahaan secara transcendental. Beragamnya orang yang mengikuti pembinaan dan training atau latihan ESQ karena materi dan metode yang diberikan dapat diterima oleh semua kalangan. Tak mengherankan jika dalam sebuah training, kita akan menemui orang-orang yang memiliki latar belakang sosial, politik, dan budaya yang berbeda.[14]
Dengan ESQ, kita sebagai manusia mengakui adanya Tuhan dengan segala kebesaran-Nya dan bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan konsep psikologi (religius) yang mengakui adanya Tuhan, yang berbeda dengan konsep psikologi Barat yang hanya mengandalkan intelektual (rasio) dan emosional.
Pada dasarnya konsep ESQ sama dengan konsep yang diajarkan secara tradisional tetapi yang sedikit membedakannya adalah ESQ mengenalkan konsep “revolusi budaya” dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana nilai-nilai ketuhanan dalam Asmaul Husna dibawa dalam perilaku sehari-hari seperti kejujuran, integritas, tanggung-jawab, kebijaksanaan, inspirasi, semangat kerja keras, dll. Nilai-nilai inilah yang kemudian dikenalkan oleh Ary sebagai nilai ilahiah yang ada dalam diri manusia. Konsep ketuhanan tidak hanya menjadi nilai filosofis, tetapi harus dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari (the way of life).
ESQ bertujuan untuk lahirkan manusia yang unggul dari sudut emosi dan spiritual dengan cara mengembangkan potensi keperibadian. Membentuk manusia unggul bukanlah suatu perkara yang mudah malah memerlukan suatu proses yang sistematik dan berkesinambungan selain daripada komitmen yang tinggi pada diri seseorang. ESQ akan memandu seseorang dalam membangunkan prinsip hidup dan keperibadian berdasarkan ESQ Way 165. Angka 165 merupakan simbol bagi 1 hati yang Ehsan pada God Spot, 6 Prinsip Moral berdasarkan Rukun Iman dan 5 Langkah Kejayaan yang berdasarkan Rukun Islam.[15]
Pembinaan dalam pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk pengembangan sumber daya manusia yang amat strategis. Sebab dalam program pendidikan selalu berkaitan dengan masalah nilai, norma dan perilaku individu dan kelompok. Pendidikan dan pelatihan selalu direncanakan untuk tujuan: pengembangan pribadi, pengembangan profesional, pemecahan masalah, tindakan yang remidial, motivasi, meningkatkan mobilitas, dan keamanan anggota organisasi.
Tujuan diklat tersebut untuk memperoleh kecakapan khusus yang nantinya diperlukan saat menjadi pemimpin dalam rangka menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Oleh sebab itu diklat ini menjadi satu alat peningkatan kepemimpinan yang secara esensial harus: (1) responsif, untuk memnuhi persyaratan dan kebutuhan individu, organisasi dan masyarakat luas, (2) efektif, menghasilkan produk yang diperlukan, diinginkan, diselenggarakan dan memberikan kepuasan kepada peserta dan organisasi, dan (3) efisien, mampu berdaya guna secara ekonomis dan memperoleh manfaat yang seoptimal mungkin.[16]
Usaha mempersiapkan dalam membentuk calon pemimpin dan mengembangkan kermampuan para pemimpin itu tidak selalu melalui latihan khusus yang formal saja, melainkan juga dapat dilaksanakan sambil bekerja di tengah lingkungan kerja melalui: (1) pemberian koreksi dan petunjuk, (2) memberikan tugas-tugas dan latihan tambahan, (3) melalui diskusi, seminar, dan rapat kerja, dan (4) in-service training.[17]

C.    PENUTUP
Manusia diciptakan di muka bumi sebagi khalifatullah, sebagai seorang pemimpin baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Meskipun setiap orang berhak untuk mengatur dirinya sendiri, akan tetapi tanpa campur tangan seorang pemimpin merupakan sumber munculnya berbagai problem-problem umat, bahkan kemanusiaan secara umum. Jika kepemimpinan tersebut hanya didasari dengan kecerdasan intelektual (IQ), maka tujuannya tidak sepenuhnya berhasil. Bahkan gaya kepemimpinan yang melanggar garis Allah (sunnatullah) hanyalah akan menumbuh suburkan anarkisme dan keganasan hewaniah, karena manusia cenderung mempunyai nafsu hayawaniah. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Thomas Hobbes "Homo Homini Lupus", manusia akan menjadi pemangsa manusia lainnya, jika yang memimpin adalah otak bukan hati. Sehingga dalam kepemimpinan diperlukan adanya kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ).
Dalam menyiapkan diri sebagai seorang pemimpin, harus bersedia menempa dan melatih diri untuk menjadi pemimpin yang handal yang akan digunakan dalam menjalankan kepemimpinan yang dibawanya. Salah satu cara adalah dengan pengembangan ESQ (Emosional Spritual Quetient). Dengan ESQ membentuk karakter yang mengetahui jati dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui orang tuanya menurut agamanya masing-masing, Dengan ESQ juga akan terrbentuk nilai dasar yang jujur, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil, peduli, visioner, rasa saling menghormati, rasa saling menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan, saling membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku lain.
Pelajaran yang dapat kita ambil diantaranya sebagai berikut:
1.      Jangan pernah meremehkan manusia, strategi lebih baik daripada tragedi
2.      Pahamilah sensitivitas kultural, waspadalah terhadap komentar Anda
3.      Kualitas tertinggi layanan pelanggan tidaklah sempurna tanpa kecerdasan Emosional
4.      Jika memecahkan suatu masalah, terlebih dahulu keluarkan emosi
5.      Sadarilah bahwa pemimpin tidak selalu benar

DAFTAR PUSTAKA

Bush, Tony & Marianne Coleman. Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan. Jogjakarta: IRCiSoD. 2012.

Danah Zohar dan Ian Marshall. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan. 2001.



file:///D:/net/esq/wibowo%20%C2%BB%20Berharap%20ESQ%20Training%20,%20 Membentuk%20Pemimpin%20dengan%20Kesadaran%20Spiritual.htm


Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga. 2007.

Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

Makmur, Syarif. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas Organisasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008.

Meyer, Henry. Manajemen dengan Kecerdasan Emosional. Bandung: Nuansa. 2008.

Sinetar, Marsha. Spiritual Intelligence Kecerdasan Spiritual. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2001.

Wahab, Abd. & Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual. Jogjakarta: Ruzz Media. 2011.
                                                                                                         
Wahjosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.




[1] file:///D:/net/esq/index.php.htm
Membentuk%20Pemimpin%20dengan%20Kesadaran%20Spiritual.htm

[3] Tony Bush & Marianne Coleman, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan. Cet.1. Jogjakarta, IRCiSoD, 2012, hlm. 70-80.
[6] DR. Syarif Makmur, M. Si., Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas Organisasi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 195.

[7] Op.cit.

[8] Dr. Henry R. Meyer, Manajemen dengan Kecerdasan Emosional, Bandung, Nuansa, 2008, hlm. 142.
[9] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Cet. 33, Jakarta, Arga, 2007, hlm. 57.

[10] Marsha Sinetar, Spiritual Intelligence Kecerdasan Spiritual, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2001, hlm. 12-13.

[11] Ibid, hlm. 36.

[12] Drs. H. Abd Wahab H.S. & Umiarso, M. Pd.I, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual, Jogjakarta, Ruzz Media, 2011, hlm. 51.

[13] Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan, terj. Rahmani Astuti, et.al., Bandung, Mizan, 2001, hlm. 5.

[15] file:///D:/net/esq/19.htm
[16] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Cet 3, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 381-382.

[17] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm. 231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar